5/05/2010

Kartono Adi, Perajin Patung Mini Terakota asal Trowulan


Kartono Adi, Perajin Patung Mini Terakota asal Trowulan
Sempat Pinjam Cetakan, Andalkan Pemasaran Konvensional

Menjadi perajin patung tak sekadar butuh modal. Kemampuan dalam berseni dan menciptakan kreasi tinggi seakan menjadi dasar yang tak bisa ditawar. Seperti yang kini dilakoni Kartono Adi, asal Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Bahkan, jika sedang jitu, banyak pesanan yang mengalir tanpa berorder.

MOCH. CHARIRIS, Mojokerto

---

MEMASUKI kawasan Desa Bejijjong, Kecamatan Trowulan yang terlihat bukan hanya perajin cor kuningan rumahan. Atau perajin patung yang berbahan batu andesit. Tetapi dibalik, pengusaha kerajinan sisa seni Kerajaan Majapahit itu terdapat sosok perajin patung mini terakota.

Memang, dibanding pengerajin pada umumnya, perajin mini terakota belakangan seperti bekerja dibalik layar. Seperti yang kini dijalani oleh Kartono Adi. Warga Dusun Kedungwulan siang kemarin bekerja sendirian. Diantara hasil terakota yang dipampang di rumahnya, sorotan kedua matanya seakan tak menggubris kondisi lingkungan sekitar.

Dibantu kedua tangan kreatif yang selama ini cukup membantu dalam membentuk kreasi berseni tinggi, kedua kelopak mata Adi, sapaan Kartono Adi mengamati semua lekuk mini terakota yang dibuatnya.

Dari bagian kepala, badan hingga bentuk kaki yang menentukan layak tidaknya mini terakota yang dia buat. ''Baru satu tahun saya menjadi perajin patung lilin. Itupun belajar dari paman," ungkap Adi dan menyebut Parno, nama pamannya.

Setahun menjadi pembuat patung sepertinya membuka mata Adi untuk lebih bisa mengembangkan keahliannya. Memang, untuk membuat mini terakota yang dibuatnya membutuhkan beberapa bahan. Diantaranya, tanah liat, lilin (malam) dan paku berukuran kecil yang berfungsi menahan patung yang dibuat. ''Mulai membuat cetakan hingga barang jadi, semua saya lakukan sendiri," ungkap pemuda yang hanya berijazah SMP ini.

Untuk memulai usahanya itu, dia mengaku tak membutuhkan modal. Karena produknya hanya membutuhkan tanah liat sebagai bahan baku. Sehingga, tak perlu mengeluarkan modal besar untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomis tinggi. ''Sekarang tanah liat hanya seharga Rp 100 ribu. Itu sudah bisa dipakai puluhan patung,'' katanya.

Dia memulai usahanya itu berasal dari hasil kerjanya sebagai perajin patung lilin. Modal yang hanya berkisar ratusan ribu rupiah itu lantas dikembangkan dengan membeli peralatan dan bahan cetakan. Selebihnya, hampir tak ada biaya operasional yang dikeluarkan. ''Bahkan untuk cetakan, saya sempat pinjam. Setelah ada uang, saya membuat sendiri," kenangnya.

Sayang, meski telah memiliki banyak bentuk patung mini dengan kualitas bagus, Adi masih menemukan beberapa kendala diantaranya soal pemasaran. Selama ini hanya mengandalkan pemasaran yang bersifat konvensional. ''Saya titipkan di koperasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan," tambah putra pasangan Yapur dan almarhum Inarti ini.

Karena dengan sistem titip produk itu, dia juga tak bisa memastikan berapa omzet yang didapat setiap bulannya. sebab penjualan produknya juga tak bergantung pada musim. ''Tidak menentu. Kadang cepat laku, kadang juga lambat. Tergantung pengunjung di BP3 Trowulan," akunya. Disamping itu juga mengandalkan para tamu yang berkunjung ke situs Majapahit.

Dia menuturkan, selama ini banyak tamu yang mencari oleh-oleh berupa patung mini dengan alasan mudah dibawa. Praktis, barang buatannyalah yang dicari para tamu itu. ''Ada perajin terakota lainnya. Tapi mereka membuat patung dan miniatur candi dengan ukuran yang besar," paparnya.

Karena minimnya promosi dan pameran, dia jarang mendapatkan pesanan dari luar kota. Meski mengaku, akhir-akhir ini mulai ada pemesan dari Jakarta setelah dirinya mengikuti pameran di JCC beberapa waktu lalu. ''Kalau banyak pesanan, saya bisa mempekerjakan dua orang lagi. Hasilnya cukup lumayan," ujarnya tanpa bisa menghitung berapa keuntungan dari bisnisnya itu.

Di rumah itu, saat ini Adi memiliki 15 macam patung mini berbahan tanah liat. Diantaranya patung Raja Brawijaya, Tri Buana Tungga Dewi, Agastia, beberapa miniatur Candi Majapahit, motif hewan serta patung kepala Maha Patih Gajah Mada.

Dari beberapa bentuk patung mini itu, dijual dengan harga kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 200 ribu. ''Tergantung motif dan besarnya patung," katanya.

Sementara soal modal, diakui belum pernah mendapat suntikan pinjaman dari bank maupun koperasi. Selama ini modal yang ia dapatkan dari hasil penjualan terus diputar untuk biaya produksi. Karena skala usahanya terbilang masih kecil, dengan begitu masih belum membutuhkan tambahan modal.

''Kalau memang pemasarannya bagus dan produksinya tinggi, baru saya buruh modal," paparnya. Meski begitu dia yakin jika usaha kecil yang dijalankan itu masih memiliki peluang yang lebar di pasaran.

Alasanya tak banyak perajin terakota seperti dirinya. Terlebih dia berupaya tetap konsisten membuat produk yang masih berkaitan dengan Kerajaan Majapahit. ''Ini pesan paman saya. Hanya yang berhubungan dengan Majapahit-lah produk yang saya buat," ujar pria yang memiliki motto hidup harus mandiri itu.

Dia menceritakan, letak kesulitan dalam menjalankan usahanya secara teknis, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Mulai dari pemilihan tanah liat, proses pencetakan, pemahatan hingga pembakaran. Jika salah satu proses itu meleset, dia menyakinkan tak akan bisa mendapatkan kualitas produk yang bagus.

Untuk bahan, dia memilih tanah liat yang memiliki kadar pasir minim. Hal ini kata dia, sangat berpengaruh dengan kehalusan struktur patung. Baik saat dicetak, dipahat maupun saat dibakar. Jika terlalu banyak kandungan pasir, warna patung tak akan bisa berwarna merah cerah. ''Akan terlihat kasar dan warnanya agak pucat," terangnya. Selain itu harus memilih tempat yang tepat untuk mendapatkan tanah liat.

Tak jarang, dia harus mengambil sampel tanah di beberapa tempat untuk mendapatkan tanah liat yang tepat pula. ''Tanah liat itu dikeringkan dan diayak hingga sangat halus. Lalu diberi air dan siap dicetak. Untuk bentuk noncetak, tanah liat yang sudah menjadi padat itu diukir," urainya.

Untuk proses pamahatan, memang butuh keahlian tersendiri. Menurutnya, tak semua pemahat patung dari bahan batu bisa melakukannya. Letak kesulitan itu sendiri terletak pada motif yang berukuran sangat kecil.

Sehingga butuh ketelitian untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Apalagi untuk motif patung para raja, yang harus serupa dengan aslinya. Dia sendiri mengaku memiliki keahlian memahat secara turun temurun.

Meski bapaknya sebagai pekerja di salah satu bengkel mobil, namun semua saudaranya ahli memahat. ''Dari tujuh bersaudara, lima diantaranya bisa memahat. Yang lain masih sekolah," katanya.

Untuk pengeringan, butuh cuaca yang tidak terlalu panas. Karena menurutnya, dengan terik matahari, akan merusak struktur patung yang sudah berbentuk sempurna itu. Untuk itu kata dia, proses pengeringan butuh cuaca yang teduh.

''Pengeringan butuh waktu dua minggu dan harus menghidari angin. Karena angin bisa membuat patung mentah itu retak," tukas pemuda yang telah bosan menjadi pengangguran ini.

Sedangkan dalam proses pembakaran, masih menggunakan cara konvensional pula. Beberapa patung mentah ditata dalam tungku kecil dengan bahakn bakar kayu. Ini dilakukan karena jumlah produksinya memang belum membutuhkan tungku dengan ukuran besar.

Pembakaran itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 4 jam. ''Dibakar hingga warna patung menjadi merah cerah," lanjutnya. Dari proses yang dianggapnya telah menjadi kebiasaan itu, dia bertekad akan terus melanjutkan usahanya ini. Meski secara perlahan, memimpikan jika usaha ini menemui jalan mulus. Karena menurutnya, ada banyak peluang jika usaha ini bisa dibesarkan. Alasannya, selama ini belum ada suvenir khas Majapahit yang bisa didapatkan di Trowulan, selain patung batu berukuran besar dan dengan harga yang sulit dijangkau.

Produk yang dia buat itu, dirasa cukup untuk bisa menarik perhatian para wisatawan. Selain kecil, juga dengan harga yang cukup terjangkau. ''Ini juga yang menjadi alasan saya untuk tetap mempertahankan usaha ini. Saya yakin masih banyak peluang," katanya dan mengaku jika contoh produknya itu pernah dibeli warga Prancis untuk dipasarkan di negara itu.

Dia berharap, ada pihak yang bisa membantu memecahkan masalah pemasaran yang selama ini dianggap menjadi kendala utama. Maklum, latar belakang pendidikan yang rendah membuat Adi kesulitan melakukan pemasaran secara efektif. Salah satunya pemasaran lewat internet.

Dia sendiri mengaku ada pihak luar yang ingin membantunya memasarkan produk melalui dunia maya. ''Intinya, kendala utama adalah pemasaran," tandasnya. (yr)

Bisnis Mojokerto Lainnya



0 komentar:

Posting Komentar

Posting Bisnis Mojokerto Terbaru

Promosikan Bisnis Anda Di Sini

Jika anda punya bisnis yang ingin ditampilkan di bisnismojokerto.co.cc, Kirimkan Informasi Bisnis Anda pada kolom di bawah ini. INGAT!, Cukup sekali kirim saja dan yang sesuai yang akan kami tampilkan.
Nama Anda
Alamat Email
Bisnis Anda
Keterangan
Image Verification
Please enter the text from the image [ Refresh Image ] [ What's This? ]
 

Pengikut

Bisnis Mojokerto

Bisnis Mojokerto © 2009 Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez